KONTEN MATERI:
1. pendahuluan; 2. pribadi “sariswara”; 3. spirit “sariswara”; dan 4. orangtua, guru, sebagai pamong “sariswara”.
OLEH:
Dimas Ario Sumilih
PENDAHULUAN
Sabtu, 11 September 2021, kegiatan Lokakarya ke-3 Pamong Pelopor Sariswara (PPS) secara dalam jaringan diselenggarakan kembali oleh Tim Sariswara, Museum Dewantara Kirti Griya, didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini asyik diikuti oleh 20 peserta, dimulai pada 10.00 WIB dan diakhiri 12.30 WIB.
Kesempatan lokakarya kali ini diasuh oleh Tri Yuliyanti Setyasari, dan dipandu langsung Cak Lis dan Mbak Hapsari. Pembahasan yang didiskusikan mengenai berbagi praktik baik model kesenian untuk mendidik siswa. Kita dapat mengenali pengasuh, Mbak Tri Yuliyanti, sebagai Ketua Badan Taman Kesenian Tamansiswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Mbak Tri Yuliyanti juga merupakan Pimpinan Rombongan Miroto Dance Company dalam “Root of the Soul of East Asia” (2019) di Seul, Korea Selatan. Aktif juga mengajar dolanan anak di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
PRIBADI “SARISWARA”
Mbak Tri Yuliyanti adalah sosok pribadi yang bisa disebut sebagai “Tamansiswa banget.” Dia dilahirkan di lingkungan Tamansiswa, keluarga Tamansiswa yang diasuh dan dididik budi pekerti oleh Ayahanda dan Ibundanya melalui pendidikan seni-budaya. Ayahanda Mbak Tri adalah seorang guru matematika dan seni, khususnya seni rupa, melukis. Beliau pun seorang ilustrator cerita Bende Mataram. Pendidikan keluarga yang menarik, diceritakan oleh Mbak Tri, bahwa Ayahanda tercintanya itu selalu mengajak anak-anak untuk turut serta memberikan argumentasi, pendapat, dan apresiasi terhadap lukisan-lukisan yang dibuat. Di saat Mbak Tri masih usia TK, Ayahanda pun sudah mengajaknya untuk berpendapat mengenai lukisan beliau. Ini pembelajaran yang luhur dalam pendidikan di lingkungan keluarga, sederhana, namun proses ini dapat membentuk pribadi dan karakter bagi masa depan anak.
Mbak Tri mengenyam pendidikan formal di Tamansiswa sejak TK hingga SMA, kuliah di ISI Yogyakarta untuk memperdalami seni tari. Kisah yang sempat diutarakan oleh Mbak Tri menunjukkan adanya benang merah, bahwa negosiasi dengan anak, penting dalam proses pendidikan. Anak diangkat derajatnya, dengan memahami dan mendalami hal-hal sederhana saja, seperti: apa kesukaannya, dan apa keinginannya. Pendidikan keluarga menentukan kehidupan dan karakter anak bagi kelak, masa depannya. Potensi anak tidak hanya sekedar akademik saja. Setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda.
Pribadi Mbak Tri dengan kisahnya di Tamansiswa menunjukkan pribadi “Sariswara.” Seni-budaya menjadi metode pendidikan yang berupaya untuk menumbuhkan potensi dan karakter anak. Setiap anak memiliki potensi diri untuk ditunjukkan kepada orang lain. Demikian ini disebut sebagai aktualisasi diri. Karenanya, orang tua atau guru, harus mampu memosisikan anak dengan tepat, mengakui keberadaan dan martabat anak. Pendidikan seni memiliki peran sebagai pendekatan yang dilakukan oleh orang tua atau guru untuk mengajak anak menemukan potensi-potensi dirinya selanjutnya mengembangkan dan mengomunikasikan kepada orang lain.
SPIRIT “SARISWARA”
Cak Lis menegaskan bahwa spirit metode Sariswara, adalah sistem among. Ajaran Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa kecerdasan hanyalah sebuah alat, bukan target capaian. Hal yang utama dalam sistem among adalah adanya “bunga” yang kelak menjadi “buah.” Anak-anak kita, peserta didik, generasi-generasi muda bangsa kita, adalah bunga itu sendiri. Pendidikan dan pembelajaran bukan ditujukan untuk mencapai kecerdasan, karena kecerdasan hanya merupakan alat, melainkan pendidikan dan pembelajaran ditujukan untuk menjadikan bunga menjadi buah. Yaitu, buah diketahui memiliki banyak manfaat. Proses pendidikan adalah membentuk manusia-manusia yang bermanfaat bagi ketertiban diri dan lingkungan. Hal ini mengandung makna “jiwa merdeka.” Jiwa merdeka dididik dengan sentuhan nilai-nilai pendidikan seni dan kesenian. Melalui pendidikan seni dan kesenian, proses pendidikan dan pembelajaran akan menyentuh hal yang mendasari bagi pertumbuhan dan perkembangan watak, pribadi, dan karakter anak masa depannya.
Setiap orang memiliki jiwa seni, namun kadarnya saja yang berbeda, dan berbicara tentang seni itu sendiri sangat luas konteksnya. Seni tidak sebatas pada seni rupa, seni suara, seni pertunjukan, seni tari, dan lain-lain. Sastra, busana, arsitektur pun merupakan suatu seni. Matematika, fisika, kimia, pun juga merupakan suatu seni. Ketika individu telah tersentuh seni, maka jiwanya akan berbudi luhur dan halus karakternya.
ORANGTUA, GURU, SEBAGAI PAMONG “SARISWARA”
Kita telah ketahui, pribadi “sariswara” dan spirit “sariswara.” Pribadi dan spirit itu hendaknya dijiwai oleh setiap orangtua dan guru dalam mengasuh, membimbing, dan mendidik anak-anak, peserta didik, dengan sistem among. Orangtua dan guru hendaknya mampu menggali dan melihat potensi anak, peserta didik. Jangan sampai orangtua dan guru men-judgment dengan statement atau pandangan-pandangan yang tidak baik. Karenanya, metode dan sistem ini mensyaratkan orangtua dan guru yang menebar kasih sayang (merengkung). Anak dan peserta didik diposisikan sebagai manusia utuh yang memiliki jati dirinya sendiri. Dengan demikian, harus ditumbuhkembangkan rasa percaya diri pada anak dengan menumbuhkan konsep jati dirinya yang khas dan unik. Di dalam sistem among terdapat pendidikan kesosialan dan pendidikan seni, yang menyentuh aspek yang ada pada lingkungan sosial anak, peserta didik, dan potensi serta karakteristik pribadinya yang unik dan khas.//
das.24092021
0 Komentar