KONTEN MATERI:
1. mengenal PPS; 2. memaknai sariswara; 3. elaborasi sariswara; dan 4. simpulan sementara.
OLEH:
Dimas Ario Sumilih
MENGENAL PPS
PPS merupakan suatu program Pamong Pelopor Sariswara yang digagas oleh Tim Sariswara Museum Dewantara Kirti Griya, dan didukung penuh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta. Diselenggarakan sejak di-launching-kan pada Sabtu, 21 Agustus 2021 dan berakhir hingga minggu pertama November 2021 dan dilanjutkan pendampingan alumni (Proposal Program PPS, 2021).
Peserta PPS, dalam proposal yang diajukan dan disosialisasikan secara terbuka di berbagai sosial media serta forum-forum terbuka oleh panitia, disebutkan adalah para pamong baik formal dan informal. Peserta PPS direkrut melalui prosedur ketat oleh tim PPS dengan menyeleksi para pendaftar menggunakan data informasi yang diperoleh dari curriculum vitae dan esai 500 kata yang diajukan oleh pelamar. Demikian juga surat kesanggupan pelamar untuk serius dan komitmen mengikuti dan mengembangkan program ini. Dari sekian banyak pendaftar, diperoleh 20 orang peserta.
Ketertarikan dan Minat Saya
Ketertarikan saya untuk mengikuti program PPS, berharap mampu mengembangkannya seiring dengan tugas dan kewajiban utama tridharma perguruan tinggi yang melekat pada sariswara dalam pendidikan-pengajaran, penelitian-pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.
Manfaat Program
Disebutkan di dalam proposal kegiatan yang dipublikasi oleh tim (2021), sebagai berikut:
- Memahami praktik sariswara dalam kelas.
- Mendapatkan 10 paket lokakarya.
- Setiap lokakarya akan menghasilkan produk yang bisa dipakai dalam pembelajaran di kelas.
- Skill mengembangkan pembelajaran yang bermanfaat dan berdampak.
- Instruktur yang berpengalaman.
- Sertifikat.
- Jaringan alumni PPS yang akan dilibatkan pada acara di Museum Dewantara Kirti Griya.
Kegiatan Program
Kegiatan program PPS dilaksanakan secara full dalam jaringan (daring)/online, yang secara blended learning melakukan kolaborasi asinkronous dan sinkronous dengan sistem belajar mandiri dan tatap maya (video konferensi). Tiap lokakarya akan dipilih peserta terbaik yang nantinya akan mendapatkan award (penghargaan).
Flow model pembelajaran yang dirancang oleh Tim Sariswara diawali dengan menumbuhkan kesadaran. Tahap selanjutnya, setelah peserta memiliki kesadaran akan arti pentingnya sariswara, akan diajak untuk secara bersama mengenali dan memahami serta menghayati konsep, teori, dan filosofi. Flow model berikutnya yang menarik dan menggiatkan kepeloporan sariswara, adalah refleksi, kritis, kreatif, inovatif, berujung pada kolaborasi dan aksi.
Launching Program PPS
Terlaksana pada Sabtu, 21 Agustus 2021, secara tatap maya (video konferensi) melalui zoom meeting sejak pukul 10.00 hingga pukul 12.30 WIB. Launching dipandu oleh Mas Fernandito Dikky M., dan Mbak Ahimsa W. Swadeshi. Menghadirkan narasumber yang sangat berkompeten dan luar biasa, yaitu: Ki Priyo Dwiarso, Ananda Sukarlan, dan Cak Lis.
Launching program ini bertema "Penggabungan Kearifan Lokal Melalui Karya Sastra dan Seni dengan Metode Pengajaran Umum." Launching terbatas untuk para peserta yang lolos seleksi, diasuh oleh pamong: (1) Ki Priyo Dwiarso, murid Ki Hadjar Dewantara, generasi pencipta karya metode sariswara. (2) Ananda Sukarlan, penerima Cavaliere Ordine della Stella d'Italia dari presiden Sergio Mattarella, penerima Dharma Cipta Karsa RI 2014 dan Anugrah Kebudayaan RI 2015, pianis, dan komponis. (3) Cak Lis, peneliti metode sariswara dan pendiri laboratorium sariswara.
MEMAKNAI SARISWARA
Sariswara, melekat pada sistem pendidikan Tamansiswa yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara. Kita kenal dan ketahui bahwa beliau adalah "Bapak Pendidikan Nasional/Indonesia." Beliau memberikan petuah yang bernilai bagi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia, yaitu: "Tut Wuri Handayani" yang kemudian diadobsi dalam simbol dan semboyan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Selengkapnya, petuah Ki Hadjar Dewantara, adalah "Ing Ngarsa Sung Tuladha" (di depan memberikan keteladanan), "Ing Madya Mangun Karsa" (di tengah membangun karsa dalam wujud kemauan, kesadaran, dan aksi, kerja sama), kemudian "Tut Wuri Handayani" (di belakang mengamati, mengawasi, mendorong, mendukung, dan membimbing).
Sariswara bertalian dengan sistem among. Ki Priyo (2021) dalam sajian dan makalahnya menyampaikan bahwa:
Kata AMONG berarti opvoeden (Bahasa Belanda) dengan kata kerja "momong, ngemong" (Bahasa Jawa), layaknya pendidik, fasilitator, atau pedagoog. Among dalam arti luas berarti dengan tulus hati mengasuh, mendidik, mengajar, menjaga, merawat, mengawasi, mengawal dengan asih-asah-asuh tanpa pamrih.
Lebih lanjut, Ki Priyo, mengintepretasikan sistem among dalam pendidikan Tamansiswa bermaksud membina "jiwa merdeka." Konsepsi jiwa yang demikian ini menyentuh ranah lahir, ranah batin, dan ranah tenaganya. Konsekuensi dari jiwa yang merdeka adalah adanya larangan memberikan hukuman dan paksaan dalam proses pendidikan. Sebagai turunannya pun, proses belajar dan pembelajaran pun berasas pada nilai kekeluargaan.
Sariswara dengan demikian saya pahami sebagai turunan, atau dalam bahasa Ki Priyo adalah hal yang tak terpisahkan, dari pendidikan sistem among. Lebih khusus dalam pendidikan bidang-bidang seni budaya, sosial, dan meluas hingga bidang eksakta bahkan pendidikan umum lainnya. Konten atau isi dari sariswara lebih lanjut pun disajikan dan disampaikan:
Sari Swara, membina karakter melalui sifat kodrati cinta keindahan WIRAGA (irama kata, verbal, dan lahir), WIRASA (harmoni, suara jiwa, dan batin), WIRAMA (skill, dan budi pekerti). Dalam pengertian yang lebih luas, berarti "sari" sebagai hakikat inti sari pati, dan "swara" yang berarti suara bunyi, verbal, nada, dan/atau suara hati nurani.
Pada simpulannya, Ki Priyo menggarisbawahi bahwa kompleksitas wiraga, wirasa, dan wirama, saling selaras dan menyelaras membina budi luhur pekerti pribadi manusia. Hal ini diperoleh dari sari rasa kodrati cinta keindahan, dan dalam konteks wilayah NKRI rasa kodrati itu diperoleh dari "puncak-puncak kebudayaan daerah." Puncak-puncak kebudayaan diidentifikasi dari budaya luhur daerah-daerah yang diangkat menjadi kebudayaan nasional.
ELABORASI SARISWARA
Modul yang saya rancang mengenai Dasar-Dasar Antropologi 1 (2020), memuat penjelasan kata "elaborasi". Elaborasi saya pahami sebagai upaya untuk menganalisis suatu data dan informasi secara cermat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman baru. Penerapannya, elaborasi sariswara, adalah upaya untuk menganalisis sariswara sehingga kita bisa mengenal, mengetahui, dan memahami pemahaman baru, untuk selanjutnya mampu menghayatinya.
Upaya elaborasi sariswara difasilitasi oleh tim dengan menghadirkan Ananda Sukarlan yang mengungkap dan memberikan motivasi kepada peserta PPS untuk "menghayati" sariswara. Selanjutnya diperkuat dengan paparan Cak Lis, beliau adalah peneliti dan pendiri laboratorium sariswara. Kajian yang sangat menggugah semangat untuk kita para pendidik dan siapa pun yang peduli terhadap pendidikan, kebudayaan, bangsa, dan masa depannya, untuk bersinergi melalui metode sariswara, mengisi dan membangun bangsaku.
Kita diajak untuk membayangkan, program realita nyata yang dapat dipraktikkan secara langsung (kreatif, kolaborasi, aksi) melalui metode sariswara ini. Peserta PPS terdiri atas beragam latar belakang, baik latar belakang daerah (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua), maupun latar belakang profesi (guru, dosen, mahasiswa, pemerhati dan pecinta pendidikan, mahasiswa, dan lain-lain). Semua memiliki bayangan untuk merancang program-program yang disinergikan dengan metode sariswara.
Kajian dan program sariswara ini, bagi saya yang baru dan sedang mempelajarinya, sungguh perlu diapresiasi, digiatkan, disemarakkan, dan diinternalisasi menjadi identitas pendidikan nasional. Metode ini lahir dari gagasan Bapak Pendidikan kita, merupakan buah budi khas Nusantara yang bercita membangun manusia dan peradaban bangsa ini. Kekhasan ini bukan sekedar apresiasi bagi leluhur, namun apresisasi harus diwujudkan dengan aksi melanjutkan estafeta pemikiran, gagasan, dan cita-cita luhur leluhur bangsa kita untuk kemajuan kita bersama menjadi manusia yang unggul, berbudi pekerti mulia, siap membangun negeri hingga masa yang akan datang dengan jangkauan jauh ke depan.
Setidaknya dari elaborasi Ananda Sukarlan dan Cak Lis, saya mendapatkan 3 (tiga) poin kecemasan, yang dengan kecemasan ini menggugah kesadaran untuk bangkit. Bangkit diri sendiri, dan kemudian mengajak orang lain bangkit. Metode sariswara adalah konten kebangkitan untuk membentuk karakter manusia yang unggul, berbudi pekerti mulia, dan siap membangun negeri. Kecemasan itu, antara lain: (1) Kegelisahan dirasakan kurangnya ruang kreativitas di dunia pendidikan kita, di Indonesia. (2) Kita memiliki Ki Hadjar Dewantara dengan gagasannya yang mendunia khususnya tentang pendidikan, kebudayaan, dan kemanusiaan, namun kita justru kurang memberi apresiasi, apalagi mengaplikasikan atau menerapkan gagasan-gagasannya untuk kemajuan pendidikan, kebudayaan, kemanusiaan, dan kebangsaan. (3) Kita memiliki keragaman rona budaya, karakteristik dan kekhasan lokalitas yang memiliki kearifan (kearifan lokal/local genius), dari ujung Sabang, hingga Merauke. Kearifan-kearifan ini adalah potensi, yang menjadi subjek untuk membentuk karakter manusia unggul dan berbudi pekerti sesuai dengan alam dan lingkup/lingkungan hidup masing-masing daerah. Tentu saja yang dimaksud arif adalah keunggulan, kearifan lokal adalah keunggulan lokal yang berpotensi membangun diri, hingga pada saatnya menyumbang dan menyokong bangunan bangsa yang berkeadaban.
Diskusi Ananda Sukarlan dan Cak Lis membuahkan pula sepintas tantangan yang harus kita hadapi, di mana kita mau tidak mau harus menyelaraskannya. Yaitu kemajuan teknologi dan era teknologi digital 4.0 Karenanya, sariswara harus maju dalam tantangan, teknologi dan eranya menjadi media dan sarana yang tepat untuk menggiatkan dan menerapkan metode tersebut. Sebagaimana filosofis layar pinisi dalam pandangan hidup masyarakat Bugis-Makassar, kiranya sariswara mampu menjaga keseimbangan kapal pinisi, tetap berdiri tegak dan gagah sekalipun badai menghalau, dan pada akhirnya mengantar penumpangnya, manusia Indonesia, menuju tujuannya dengan selamat dan berbahagia.
SIMPULAN SEMENTARA
Kata "sementara" patut saya angkat, karena pengetahuan, pemahaman, dan ilmu pengetahuan itu sendiri selalu berkembang dan mengalami kemajuan-kemajuan dan dinamika. Demikian, akhirnya saya pahami sariswara sebagai:
Metode yang holistik (menyeluruh), selaras dan menyelaraskan kecapakan wiraga (jasmaniah), wirasa (batiniah), dan wirama (budi pekerti), melalui kearifan lokal dalam bentuk (sastra, seni, dan budaya) sehingga menjadi manusia berkarakter sesuai dengan alam dan lingkup/lingkungannya, dengan harapan mencapai capaian manusia unggul, berbudi pekerti mulia, siap membangun negeri hingga masa yang akan datang dengan jangkauan jauh ke depan.
Demikian. Terima kasih.
Salam dan bahagia.
REFERENSI:
- Dimas Ario Sumilih. 2020. "Antropologi: Pengertian, Latar Belakang, dan Sejarah Perkembangan," dalam E-Modul Dasar-Dasar Antropologi 1. Makassar: Pendidikan Antropologi, Jurusan Sosiologi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Makassar.
- Ki Priyo Dwiarso. 2021. "Metode Sari Swara dalam Sistem Among di Tamansiswa," dalam Makalah (31 Juli 2021). Yogyakarta: Museum Dewantara Kirti Griya, dan Tim Sariswara.
- Tim Sariswara. 2021. "Program Pamong Pelopor Sariswara (PPS): Akselerasi Pamong dan Pengembangan Metode Sariswara," dalam Proposal Publikasi. Yogyakarta: Museum Dewantara Kirti Griya, dan Tim Sariswara.
das.29082021
1 Komentar
Luar biasa.
BalasHapus